A Journey I Called, Marriage.



"Kok dia ga nembak juga ya? Keretanya kan bentar lagi berangkat." ujarku dalam hati.

Dirut PT KAI pada saat itu belum dijabat Pak Jonan, sehingga saya masih boleh mengantar sampai kedalam gerbong kereta. Ia masih cukup sibuk dengan anak-anaknya, sebutan akrab dirinya untuk siswa/i SMA yang dilatih debat olehnya. Beberapa saat setelah mereka masuk dan menempati kursinya, ia kembali menghampiri saya sambil tersenyum. Senyum hangat yang membuat saya jatuh cinta saat pertama kali bertemunya dulu di Palembang.

"Thank you for everything ya, I have spend the most special three days with you. Maaf sudah membuat repot harus nganter kesana kemari, semoga ga kapok hehehe..." ujarnya sambil terus menatap.

Tidak banyak kata-kata yang keluar dari mulut saya, berdekatan dengannya sambil dilihat banyak orang yang lalu-lalang cukup membuat grogi juga. Saya hanya membalas sambil cengengesan, sambil tetap menunggu  kepastian itu diucapkan olehnya. Semburat matahari senja menyeruak diantara gerbong kereta, dan untunglah suasana sore itu cukup cerah. Kalo tidak, kayaknya kata-kata perpisahan darinya akan membuat saya mewek sepanjang malam.

"Iya, hati-hati selama perjalanan, jangan lupa kabari ya kalo sudah sampai Malang." jawabku singkat.

Jawaban formal yang terkesan basa-basi padahal tangan ini udah keringetan nahan rasa deg-degan. Ia tersenyum (lagi) bersamaan dengan bunyi cukup keras yang menandakan bahwa kereta akan segera berangkat. Saya cukup kaget, gak nyadar kalo 5 menit lagi dia benar-benar harus kembali ke Malang. Saya buru-buru mengakhiri percakapan ini sambil benerin posisi tas dan baru menyadari bahwa akhirnya kalimat itu meluncur juga dari mulutnya.

"I hope that you can be the special one for me, the one who has the special place in my heart. Will you?" ucapnya sambil tetap menatap.

"Hah? jawaban bodoh ini yang otomatis keluar dari bibir saya. Padahal saya sudah siap-siap dari pagi hari kalo nanti ditembak, saya gak akan jawab langsung, mau minta waktu buat pikir-pikir, dengan alasan klasik kalo saya belum pernah menjalani LDR (Long Distance Relationship) sebelumnya. Kereta mulai perlahan maju dan dia tampak bingung melihat reaksi saya. Ia pun mengulangi lagi pertanyaannya, kali ini lebih singkat.

"Will you?" desaknya sambil  berusaha menangkap gerakan mata saya.

"Hah, ahh yes... Iyah mau." jawabku sambil menunduk menahan malu, grogi, seneng, sedih, dan terharu. Laki-laki murah senyum yang pembawaannya selalu bikin saya tenang ini pun mengelus kepala saya singkat dan bergegas melihat aba-aba dari kepala stasiun yang mengisyaratkan pintu gerbong akan segera ditutup.

"Jaga diri baik-baik ya, makasih ya Cy. Aku pamit dulu ke Malang, doakan selamat sampai tujuan. Kamu mau bilang apa lagi, mumpung belum jalan ini keretanya" ujarnya sambil mengelus kepala saya dan memastikan kalo saya menyadari bahwa ia harus segera masuk kedalam gerbong.

"Jangan nakal, jangan macem-macem, jangan selingkuh" jawabku pasti sambil tetap menunduk. Haduh, jawaban macam apa ini, jauh dari pesan berbobot dari seseorang yang baru saja jadian. Ia tertawa dan perlahan menggenggam bahuku erat seakan-akan meyakinkan bahwa LDR bukanlah hal yang buruk because I am with the right man..

"Trust me. Aku pergi ya, pulangnya hati-hati." ujarnya sambil melepas genggamannya dan perlahan berjalan mundur ke arah pintu gerbong. Persis kaya di drama Korea kekinian saat ini. Sayangnya, dulu belum musim drakor sih. Sore itu cukup cerah, tapi hati saya lebih cerah lagi. Saya mengangguk dan tersenyum menatapnya, juga anak-anaknya. Iya, jadi adegan romantis tadi diliatin sama mereka juga ternyata. Yasudahlah, anggap saja hiburan gratis,

Anehnya, saya tidak menangis. Saya terus tersenyum sambil melambaikan tangan sambil berharap dia memutuskan untuk tidak berangkat dan memulai hidup bersama saya di Bandung. Oke ini ngarang. Tapi saya tetep berharap dia ga berangkat. karena saya masih kangen. Baru kali ini saya jadian terus ditinggal 5 menit kemudian, tanpa kepastian kapan kita bisa bertemu lagi. Tapi, saya tetap yakin dialah yang terakhir untuk saya.

***

Kejadian di stasiun 5 tahun lalu selalu terkenang di benak saya. Tidak ada yang mengetahui pasti mengapa orang yang tidak saya kenal dengan baik di awal, tiba-tiba memulai percakapan di BBM yang berujung pada pertemuan di Bandung sebulan kemudian. Perjalanan kami berdua cukup panjang hingga memutuskan untuk bertunangan di bulan Mei 2014 dan menikah setahun kemudian. Pernikahan yang selalu saya impikan berhasil saya dapatkan, namun kebahagiaan yang saya dapatkan jauh lebih daripada sebuah pernikahan impian yang terlaksana. Saya menikah dengan seseorang yang selalu membuat saya jatuh cinta setiap harinya, walau jarak masih jadi kendala utama. Tiap dua bulan sekali, dia cuti dan pulang ke Bandung untuk menemui saya di rumah kecil kami. Rumah ini, yang namanya berubah-ubah sesuai mood si pemilik, sudah kami miliki setahun sebelum menikah. Tidak terlalu banyak perbedaan dengan pasangan suami istri lainnya yang sewajarnya tinggal satu atap, kami menjalankan pernikahan ini dengan asas gotong royong. PDIP kali ahh, gotong royong. Bukan, tapi dia, yang kini saya sebut suami, adalah sosok yang benar-benar membuat saya bersyukur sebagai seorang istri. Kami berbagi kewajiban, kami berbagi cerita, keluh kesah, sambil terus menata jalan untuk mencapai impian kami berdua satu persatu.

"Sayang, kamu rebahan aja, biar aku yang cuciin piring kotornya."

 "Tugas kamu masih banyak kan, gapapa aku aja yang siapin dinnernya ya. Mau makan apa sayang?"

"Aku ga cape. Udah sini aku yang nyapu."

Semenjak memutuskan untuk melanjutkan kuliah dan dia masih bertahan bekerja di Kalimantan, pernikahan kami berjalan seperti orang pacaran. Rasa kangen  masih bisa di handle selama sebulan setelah dia balik ke site, sisanya saya uring-uringan. Banyak hal yang bikin saya uring-uringan. Kerjaan ngajar banyak, mahasiswa pada rese, jarak PP Bandung-Cianjur yang bikin jenuh, tugas kuliah yang bener-bener tiada akhir, period time, sampai rasa sedih yang mendalam setiap saya ditanya "udah isi?". Semuanya bener-bener bikin kepala saya sakit, dan sayangnya obat sakit kepala itu hanya datang dua bulan sekali.

***

Setiap malam, kami sudah standby di posisi masing-masing dengan headset menempel di telinga masing-masing. Perbedaan waktu satu jam antara Bandung - Tanjung tidak telalu berpengaruh terhadap jadwal kami bertelepon. Walaupun sekarang sudah lebih mudah untuk melakukan video call, saya cenderung males kalo video call dan lebih seneng telepon biasa. Suara suami saya adalah obat kangen yang paling mujarab, bahkan pengantar tidur paling merdu yang selalu saya dengar setiap malam. Malam yang kami habiskan dengan terus berharap dan berdoa, kalau suatu saat Allah mengizinkan kami untuk bersama tanpa harus meninggalkan kewajiban masing-masing.

Sudah 366 malam yang kami habiskan secara berjauhan, walaupun status kami sudah halalan toyyiban untuk tidur dalam satu ranjang. Setahun sudah pernikahan kami berjalan, dan kalau boleh menghitung, hanya 1/4 waktu yang kami bisa habiskan bersama. Bertemu setiap dua bulan sekali, dengan jatah cuti dua minggu, menurut saya tidak pernah cukup. Prinsip yang aneh memang, karena kalo orang selewat dengan entengnya nyeletuk "udah nikah ko masih jauhan, gimana mau jadi istri sholehah" masih bisa saya redam dengan menahan diri ga nimpuk pake bunga ... yang masih di dalam pot .. dengan tanah-tanahnya sekalian.

Duh, masa-masa sedih gundah gulana itu mungkin masih belum lewat. Mungkin saya masih akan tetap menangis tiap mengantar kembali suami saya ke bandara karena jatah cutinya sudah habis, padahal besoknya saya ada seminar dan saya jadi presenternya. Mungkin saya akan masih bersemangat membuat mini research dan mengirim abstraknya ke berbagai seminar internasional dengan harapan sekalian liburan gratis. Mungkin saya masih ketawa lepas tiap ketemu temen-temen S2 saya yang cukup menghibur setiap hati ini dilanda kangen. Dan mungkin saya masih terus bermimpi untuk membuat mahasiswa/i saya meraih impiannya melalui mata kuliah yang saya ajarkan dan suatu saat kita bisa sama-sama kembali bertemu saat mereka sudah sukses dengan pekerjaannya masing-masing.

Maafkan istrimu yang belum bisa menemanimu sepenuhnya, seutuhnya. 
Maafkan istrimu yang masih sibuk membaca buku-buku linguistik dibandingkan baca buku resep supaya masakannya ga itu-itu aja. 
Maafkan istrimu yang masih lunch di kantin kampus dibandingkan menyiapkan sarapan, makan siang, dan makan malam mu.
Maafkan istrimu yang selalu menangis setiap berhalangan dan kembali menyalahkan keadaan.
Maafkan istrimu yang lebih sering bertatap muka dengan mahasiswa daripada menatap matamu saat kamu pulang kerja.

Tapi, suamiku, percayalah...
Kelak, akulah orang pertama yang kau tatap saat kau membuka mata.
Kelak, akulah yang menemani tidurmu, tanpa headset menempel hingga pagi buta.

Bismillah...

Selamat 1 tahun pernikahan, suamiku.
Dari seorang istri yang sangat bersyukur memiliki dirimu.

I love you..

***








You Might Also Like

0 comments