Pria Baik Hati Itu, Suamiku.

Your smile releases all the pain
Kamis, 24 September 2015
16:20
Bandung

Hari Raya Idul Adha1436 H

Sore ini, saya masih berkutat dengan tugas Metodologi Penelitian. Chapter Report-nya sih sudah selesai, tapi presentasinya masih belum saya buat padahal saya sudah bertekad di libur panjang kali ini semua tugas S2 saya harus selesai. Tapi ternyata, susaaah. Memahami satu chapter saja sudah berapa kali bolak balik bukunya dan sampai sekarang masih belum mudeng. Belum lagi tugas Morphology yang buku acuannya aja campur sari bahasa Belanda. Padahal 2 minggu lagi jatahnya tampil. Kalo udah kaya gini, suka pengen meluk suami..

Suami? Suamiku yang baik hati lagi apa ya? Tadi sih dari pagi sampai siang masih setia nemenin istrinya ngetik sambil becanda-becandaan, mau Skype tapi signal disana susahnya bikin kesel, yaudah balik teleponan lagi. Loh kok teleponan? Iya, suami saya kali ini ga dapet jatah cuti dan akhirnya harus rela berjauhan lagi di hari raya. Jangan tanya perasaan saya ya, sedih sama gembira udah ga jelas lagi, udah ga pernah nangis lagi, sekarang lebih sering menghela nafas dan berkata sama diri sendiri "Sabar ya, selesai S2 semuanya bakal selesai, no more LDR". 

Janji yang berulang kali saya ucapkan setiap pulang kuliah dan kecapean karena pp Bandung-Jatinangor, setiap saya liat temen yang baru nikah udah pada isi, setiap saya ditanya "Udah isi, neng?" sama ibu-ibu komplek yang gak begitu saya kenal, dan setiap pulang ngajar dan sampe kamar cuma bisa liat guling sambil berharap buntelan itu adalah suami saya tercinta.

Iya, itu adalah janji yang selalu keluar setiap saya merasa letih, tapi selalu hilang dan menguap saat saya mengajar anak-anak, saat saya berdiskusi dengan rekan-rekan sesama dosen dan membicarakan seminar apa yang harus kita kejar tahun ini, jurnal apa lagi yang harus dipublikasikan, dan saat saya bertemu teman-teman seangkatan yang sama-sama berjuang untuk gelar master di tahun 2017. Dan janji itu berubah menjadi keyakinan saat suami dengan lembut mengingatkan akan mimpi saya menjadi seorang Guru Besar, mimpinya tentang memiliki beberapa investasi di Bandung dan dirinya sudah pensiun dini dalam usia 45an dengan bisnis properti yang sudah berjalan, mengantarkan saya mengajar di salah satu universitas prestisius di Bandung dan setiap sore minum teh di depan teras rumah dengan anak-anak yang mulai beranjak dewasa.

Suamiku, yang penuh kebesaran hati, rela membagi 'haknya' untuk sepenuhnya dilayani oleh sang istri dan meridhoi istrinya untuk menimba ilmu lebih lanjut, untuk berkarya sebagai dosen, dan tetap berbakti kepada papah mamah dengan menjaga perasaannya agar tidak tinggal berjauhan dengan anak perempuannya ini. Suamiku yang hingga saat ini selalu menguatkan tentang keyakinan memperoleh keturunan, bahwa kita hanyalah hamba yang dititipkan kepercayaan, yang tugas utamanya terus berusaha dan berdoa semoga kelak kepercayaan itu akan sampai kepada kita berdua. Suamiku, yang makan dan laundry-nya masih diurus orang lain, selalu sabar mendengar keluhan dan tangisan yang muncul setiap istrinya kangen dan merengek minta ditengok padahal baru seminggu ditinggal balik ke site.

Pria baik hati itu, suamiku.

Berkahi dan limpahkan berjuta pahala baginya Ya Allah, dan sampaikan kami pada indahnya kebersamaan yang abadi di Jannah kelak. Hanya satu pintaku, jadikanlah aku satu-satunya bidadari baginya baik di dunia maupun di surga kelak. Amin..


“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya. Dan tidaklah seorang istri dapat menunaikan seluruh hak Allah hingga istri memenuhi seluruh hak suaminya.” (HR. Ahmad).


You Might Also Like

0 comments